Mühlberg, Frankfurt am Main – Dalam perjalanannya ke beberapa negara, Peggy Melati Sukma menjadwalkan sebuah kunjungan ke Masjid Indonesia Frankfurt, pada Minggu & Senin (10 & 11/05/2015), untuk berbagi ilmu dan pengalamannya berhijrah. Hijrah seperti yang dahulu dilakukan kaum muslim di zaman Rasulullah. Mereka berpindah dari Mekkah menuju Madinah. Lalu apakah hijrah yang dimaksudkan Peggy ini juga demikian? Ialah Hijrah yaitu berpindah dari keadaan yang buruk, ke kondisi yang lebih baik. Peggy Melati Sukma mengawali karirnya di dunia keartisan pada usia remaja. Berbekal ilmu theater dia pun berhasil mencuri perhatian masyarakat. Berbagai penghargaan dalam dunia seni peran pun sukses dia dapatkan. Terkenal dengan „Pussiiiiiiiiiiiing“-nya dalam sinetron Gerhana, tidak membuat Peggy cepat berpuas diri. Ia mulai melebarkan sayap kebidang lainnya. Menjadi seorang penyanyi, produser hingga terjun dalam dunia bisnis. Karirnya di dunia international pun terus meningkat.
„Tidak ada hari selain untuk bekerja, senin hingga minggu.“ Ujar Peggy. Ia pun mengakui, bahwa pada saat itu kualitas kehidupannya di dunia terus meningkat tajam, namun berbanding terbalik dengan kualitas ibadahnya yang terjun bebas. „Kalau sedang rapat, lalu azan, saya tak bolehkan pergi. Tunggu saya selesai bicara. Alhasil sholatnya mepet diakhir waktu. Di situ saya sombong sekali.“ ujar Peggy. Kemudian hal-hal seperti itu kian hari menjadi sebuah kebiasaan dan menjadi sesuatu yang menurutnya haruslah dimaklumi demi kesuksesan bersama.
Kerja kerasnya mengukir kesuksesan, yaitu kehidupan yang diimpikan oleh banyak orang. Apalagi kalau bukan harta yang melimpah, ketenaran, pergi keliling dunia, bisnis yang sukses, segudang penghargaan, pekerjaan dengan jabatan yang strategis.
„Dulu, apapun yang menghalangi, akan saya dobrak. Kalau di dunia bisnis, saya sering disebut bulldozer. Kalau menurut lawan, saya ini monster“ cerita Peggy.
Lalu mengapa akhirnya seorang Peggy Melati Sukma memilih untuk meningalkan itu semua? Alas an apa yang akhirnya membuat Peggy memutuskan untuk mewakafkan dirinya di jalan Allah?
Dengan semua kekayaan, kekuasaan dan ketenaran itu, ia tak menemukan kebahagiaan dan kedamaian. „Hingga sampai di suatu titik, semuanya habis. Seperti terkepung, berantakan“, kata Peggy. Semua yang ia bentuk dalam waktu 21 tahun itu pun mulai hancur. Tidak ada jalan keluar saat itu, tidak ada pertolongan dan ia pun dalam keadaan yang payah. Kemudian dia jatuh sakit. Kala itu badannya benar-benar tak kuasa menahan kesakitannya. Peggy masuk rumah sakit. „Saya seperti sedang dicuci, dalam keadaan itu saya berucap, jika saya sembuh, maka akan saya wakafkan diri saya untuk jalan Allah“. Setelah sembuh ia memutuskan untuk berhijrah dan melakukan hal-hal yang disukai Allah. Perusahan-perusahaan yang ia miliki pun dibubarkan. Ia ceritakan kisahnya ini dalam sebuah syair dalam bukunya yang berjudul 3,5 luapancinta. Jemaah pun hanyut dalam luapan emosi, saat Peggy membacakan syair gubahannya itu. Pencariaannya akan kedamaian dan makna kehidupan dari semua peristiwa yang ia alami.
Setiap orang pasti berdoa, ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tapi kebanyakan dari mereka hanya berucap demikian untuk urusan-urusan duniawi. „Semoga saya naik jabatan, semoga saya lulus studienkolleg, semoga segera bertemu dengan jodoh, semoga rezeki saya lancar, dsb“. Padahal tujuan kita hidup di dunia ini bukan sekedar mendulang kesuksesan duniawi. Segala pekerjaan atau aktivitas yang kita lakukan seharusnya menjadikan kita pribadi yang lebih bersyukur. Hidup ini untuk beribadah, yakni melakukan hal-hal yang disukai Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Segala sesuatu yang kita lakukan selama ini, jika hanya untuk urusan dunia, niscaya tak akan menghasilkan apapun. Tidak ada keberkahan di dalamnya. Akan lebih buruk lagi jika yang ada hanya maksiat.
„Lalu bagaimana nanti kita mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut di mahkamah Allah?“, ujar Peggy berkali-kali.
Setelah perbincangan hangat itu, para adik-adik TPA pun memberikan persembahan. Bertepatan dengan hari ibu pada tanggal 10 mei itu, para adik kita juga memberikan bunga pada ibu mereka. „Sejak kecil, saya sudah diajarkan ibu saya untuk berbagi“, kenang Peggy. „Saya tak pernah diberikan uang jajan. Tetapi selalu dibawakan bekal. „Bawa, buka bekalnya, bagikan keteman-teman, kata ibu saya“. Kini Peggy menyibukan dirinya dengan kegiatan sosial bernafaskan islam. Dia juga ikut membantu para korban di jalur Gaza.
Untuk acara inspirational sharing session hari Senin (11/05) peserta yang hadir dikhususkan hanya untuk muslimah. Banyak peserta yang hadir hari itu, sudah megikuti acara yang serupa sehari sebelumnya. Namun acara yang kedua, dibuat spesial karena peserta diperbolehkan untuk bertanya apapun kepada Peggy. Sehingga suasana pada hari itu terasa lebih dekat antara satu sama lain. Kalimat-kalimat yang disampaikan Peggy sangat memotivasi. Seperti contohnya, „hijrah itu tak pernah putus, kalau tobat belum terputus. Tobat itu belum putus selama matahari masih terbit dari timur“. Dan kalimat hikmah lainnya seperti, „gunakan fasilitas Allah dalam menjalani hidup, untuk menghindari nafsu, dan mengendalikan syahwat. Iman itu dinamis, cara merawat iman adalah tinggalkan hal-hal yang syubhat (meragukan), dan jalani perintah Allah.
Dengan berbagi ilmu dan pengalaman, peggy telah berhasil mengetuk pintu hati jemaah Masjid Indonesia Frankfurt. Keterlambatan pada acara ini, akhirnya terbayarkan oleh isi materi. Jemaah yang memiliki bermacam latar belakang, sore itu bulat dalam satu suara. Bahwa sebaik-baiknya kehidupan adalah keseimbangan antara dunia dan akhirat. Dimana urusan duniawi ini haruslah tetap dalam koridor yang semestinya, yakni sebagai ibadah kepada Allah SWT. Maka, bagi yang masih berdiam pada masa jahiliyahnya, berhijrahlah! (/AH & BM)