Memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW atau biasa disebut Maulid Nabi telah menjadi tradisi bagi umat Islam. Peringatan Maulid Nabi pada 12 Rabiul Awal mengingatkan kita pada sosok Shalahuddin Al-Ayyubi (1193 M) untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW dan meningkatkan semangat kaum Muslim saat ini. Dengan mengingat dan mengikuti keteladanan yang dicontohkan Rasulullah SAW dalam berbagai aspek kehidupan, kita akan memperoleh kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Dalam aspek sosiologis, kecenderungan bergaya hidup konsumeristik, hedonistik dan materialistik mempunyai pengaruh cukup besar terhadap terkikisnya tingkat kesadaran seseorang dalam beragama. Apalagi ketika kita tinggal di luar negeri untuk kuliah atau bekerja, dan mayoritas warganya adalah non-Muslim, hal tersebut akan menjadi tantangan tersendiri bagi yang beragama Islam. Untuk itu, peringatan Maulid Nabi menjadi momentum penting yang mengingatkan kita dalam menjalankan tuntunan ibadah sehari – hari.
Setiap hari kita bisa melihat penggunaan gawai, kendaraan, fashion dan pergaulan di seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali pelajar dan mahasiswa yang telah terjangkiti perilaku konsumeristik, hedonistik dan materialistik. Dalam Al Quran surat Al-A’raf ayat :31
Arti: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang yang berlebih-lebihan.
Kesederhanaan Rasulullah SAW dapat kita lihat pada saat Umar bin Khattab menemui Rasulullah di kamarnya. Umar melihat Rasul sedang berbaring di atas sebuah tikar kasar, dan hanya berselimutkan kain sarung. Kemudian, terlihatlah guratan tikar yang membekas di tubuh Rasulullah SAW. Sontak Umar pun berkata, “Wahai Nabi Allah! Andaikan engkau menggunakan permadani tentu lebih baik dari tikar ini”. Maka Beliau pun bersabda: “Apa urusanku terhadap dunia? Permisalan antara aku dengan dunia bagaikan seorang yang berkendaraan menempuh perjalanan di siang hari yang panas terik, lalu dia mencari teduhnya di bawah pohon beberapa saat di siang hari, kemudian dia istirahat di sana lalu meninggalkannya.” (HR at-Tirmidzi 2/60, al-Hakim 4/310, Ibnu Majah 2/526).
Salah satu dampak dari perilaku konsumerisme adalah hilangnya kepekaan sosial, dan menonjolnya perilaku individualistik serta yang paling berbahaya adalah merajalelanya korupsi untuk memenuhi hidup konsumerisme. Padahal dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah mencontohkan pola makan yang baik yaitu dengan menjaga keseimbangan tubuh; sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk udara dan sepertiga untuk air. Selain itu, Rasulullah menganjurkan kita untuk bersedekah, menolong orang lemah sesuai kemampuan kita, menjenguk orang sakit, saling memberi, saling menyapa dan salam dengan tetangga dan orang lain, karena dengan hal ini hidup kita akan semakin tentram dan damai.
Perilaku konsumerisme juga bisa terjadi ketika kita kuliah atau bekerja di luar negeri karena mudah dan murahnya mendapatkan beragram produk bermerk dan terkenal. Tapi di sisi lain, kita butuh perjuangan tersendiri untuk beribadah pada saat di luar negeri. Bukan saja sulit menemukan masjid atau tempat yang memadai untuk menunaikan sholat, kita juga tidak akan disediakan waktu khusus untuk itu, sehingga kita akan susah beribadah tepat waktu. Selain itu, ketika puasa Ramadhan pada saat musim panas, kita akan menjalankan puasa selama 15 – 20 jam. Ketika musim dingin tiba, waktu sholat Dzuhur, Ashar dan Maghrib sangat berdekatan, sehingga terkadang kita harus menjamak sholat. Belum lagi kesulitan dalam menemukan makanan halal. Melihat kondisi tersebut, tentu saja kita akan menemukan kesulitan dalam melaksanakan syariat Islam dan tidak bisa menghindarinya. Oleh sebab itu, dengan peringatan Maulid Nabi, kita bisa menggunakannya untuk lebih belajar lagi mengenai kajian fiqih yang berusaha memberikan solusi bagi masyarakat Muslim yang menjadi minoritas dan tinggal di negeri non-Muslim.
Fiqih minoritas merupakan perspektif ulama modern dalam kerangka melahirkan fleksibilitas hukum Islam pada situasi dan kondisi tertentu. Hal ini sangat penting untuk menjaga keimanan sekaligus kemaslahatan hidup. Fiqih ini menjadi solusi bagaimana agar seorang Muslim dapat memerankan dirinya, baik sebagai seorang Muslim maupun sebagai warga negara yang baik, sehingga dapat mengintegrasikan dengan lingkungan sekitarnya, khususnya di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Dengan pembaruan dan inovasi dalam pemikiran keagamaan agar dinamis seiring dengan situasi dan kondisi, tapi tetap tidak menghilangkan esensi atau nilai-nilai pokok yang terkandung dalam Islam, diharapkan juga akan mengikis atau bahkan menghilangkan maraknya Islamophobia.
Islamophobia tidak dapat dipisahkan dari problema prasangka terhadap orang Muslim dan orang yang dipersepsi sebagai Muslim. Prasangka anti Muslim didasarkan pada sebuah klaim bahwa Islam adalah agama “inferior” dan merupakan ancaman terhadap nilai- nilai yang dominan pada sebuah masyarakat (Abdel-Hady, 2004). Ketika umat Islam lebih bermartabat, dengan rasa segan dan hormat karena Islam dipersepsikan membawa manfaat dalam kehidupan insan manusia; ini adalah salah satu strategi dalam menyikapi Islamophobia yang bisa kita lakukan. Untuk menjadikan kita sebagai seorang Muslim yang bermartabat, maka kita harus meneladani Nabi Muhammad SAW karena dalam diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik dalam akhlak maupun perbuatannya.